
Saat ini untuk mewujudkan kemandirian ekonomi nasional, pemerintah negara Indonesia terus mendorong pemakaian Produk Dalam Negeri. Salah satu instrumen penting untuk mewujudkannya adalah kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Kebijakan ini mampu mengukur sejauh mana produk/jasa mengandung unsur lokalisasi , mulai dari bahan bakunya, tenaga kerja, sampai proses produksi.
Akan tetapi, seiring industri berkembang & kebutuhan efisiensi dalam pengadaannya, mekanisme penghitungan TKDN lama di nilai tak lagi sesuai. Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian melakukan reformulasi terhadap metode penghitungan TKDN, guna memperkuat ekosistem industri nasional dan mendorong investasi berkelanjutan.
Berikut Ini Adalah Pentingnya Reformulasi Penghitungan TKDN dalam Melakukan Pendukungan Industri Nasional di Indonesia
1. Latar Belakang dan Dasar Hukum TKDN, lalu Bagaimana Perhitungan TKDN?
Penggunaan produk dalam negeri dalam proyek pemerintah tidak hanya merupakan kebijakan ekonomi, tetapi juga merupakan amanat hukum. Dasar hukumnya tertuang dalam:
* Pasal 86 UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
* Pasalnya 61 PP No. 29 Tahun 2018 terkait Pemberdayaan Industrialisasi
* Ada Pasal 66 Peraturan Presiden No. 46 thn 2025 terkait Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah negara Indonesia
Aturan tersebut menyatakan bahwa pengadaan barang dan jasa oleh instansi pemerintah serta BUMN/BUMD harus mengutamakan PDN dengan nilai TKDN ditambah Bobot Manfaat Perusahaan (BMP) minimal 40%. Sayangnya, sistem penghitungan lama di nilai masih menyulitkan dari segi teknis dan waktu, serta kurang mendukung pelaku industri kecil.
2. Masalah Utama dalam Penghitungan TKDN Saat Ini
a. Pendekatan Biaya yang Rumit dan Memakan Waktu
Untuk sistem lama pakai pendekatan biaya keseluruhan, ini melibatkan pengumpulan & analisis data bahan baku, anggaran tenaga kerja, anggaran overhead, juga kapasitas produksinya. Proses ini seringkali terlalu teknis, panjang, dan memerlukan dokumentasi rumit, apalagi untuk industri dengan rantai pasok panjang.
b. Penghitungan sampai Layer ke-3
Dalam praktiknya, perhitungan nilai TKDN bisa menjalar hingga ke lapisan ketiga dari rantai pasok, yakni menelusuri komponen dari pemasok hingga ke sub-sub kontraktor. Ini tentu menambah beban administratif dan memperlambat proses sertifikasi.
c. Tidak Adanya Insentif bagi Efisiensi
Sistem lama cenderung mendiskreditkan perusahaan yang efisien. Jadi makin efisien perusahaan, maka makin kecil biaya produksi itu, yang ironisnya dapat hasilkan nilai TKDN lebih rendah lagi. Ini menunjukkan bahwa pendekatan biaya kurang mampu mencerminkan manfaat strategis yang di berikan perusahaan terhadap perekonomian nasional.
3. Arah Reformulasi: Penyederhanaan dan Insentif
Untuk mengatasi berbagai persoalan di atas, pemerintah menyusun reformulasi metode penghitungan TKDN yang lebih relevan dan responsif. Beberapa poin pembaruannya antara lain:
a. Penggunaan Pendekatan Bobot
Pendekatan baru tidak lagi menghitung secara rinci seluruh biaya produksi, melainkan menggunakan pembobotan komponen utama. Komponen bahan atau material langsung di beri bobot sebesar 75%, tenaga kerja langsung di beri bobot 10%, dan biaya tidak langsung pabrik sebesar 15%.
b. Penghitungan Hanya sampai Layer Pertama
Penghitungan nilai TKDN kini cukup di lakukan sampai lapisan pertama pemasok saja. Jika pemasok layer ke-2 telah memiliki sertifikat TKDN, nilai tersebut dapat langsung di gunakan tanpa harus di telusuri lebih jauh.
c. Penghapusan SP2 dan Reviu LHV
Beberapa proses administratif seperti Surat Permintaan Pemeriksaan (SP2) dan reviu Laporan Hasil Verifikasi (LHV) oleh Pusat P3DN di tiadakan untuk menyederhanakan prosedur dan mempercepat penerbitan sertifikat.
d. Ada tambahan Insentif lewat Bobot BMP
Pemerintah juga memperkenalkan komponen insentif tambahan melalui BMP. Perusahaan dapat memperoleh tambahan nilai hingga 15% dari TKDN jika memenuhi sejumlah indikator strategis, seperti memiliki sertifikasi INDI 4.0, melakukan investasi baru, bermitra dengan UMKM, menyerap tenaga kerja lokal, serta menerapkan prinsip industri hijau dan ESG.
4. Contoh Perhitungan TKDN dengan Pendekatan Baru
Sebagai ilustrasi, mari kita lihat perhitungan TKDN pada produk pompa. Jika bahan/material seluruhnya berasal dari impor, maka bobot 75% dari komponen bahan tidak menyumbang nilai TKDN (nilainya nol). Namun, jika seluruh tenaga kerja yang terlibat adalah warga negara Indonesia, maka 100% dari bobot tenaga kerja (yakni 10%) dapat di hitung. Begitu pula, jika biaya tidak langsung (seperti listrik, sewa, perawatan mesin) sepenuhnya di keluarkan di Indonesia, maka nilai dari bobot 15% dapat di ambil seluruhnya.
Maka, total TKDN-nya adalah 0% dari bahan, 10% dari tenaga kerja, dan 15% dari biaya tidak langsung. Keseluruhan total jadi 25% walaupun seluruh bahannya berasal dari luar negeri ya.
5. Brainware dan Litbang sebagai Nilai Tambah
Selain komponen bahan, tenaga kerja, dan biaya pabrik, pemerintah juga mulai menghargai unsur intelektual dan inovatif dari pelaku industri. Brainware, yang mencakup kegiatan litbang, pengembangan desain, dan kepemilikan hak kekayaan intelektual, bisa menjadi penambah nilai TKDN.
Namun, komponen brainware ini bersifat opsional. Artinya, jika tidak ada, nilai TKDN tidak berkurang. Tetapi jika tersedia bukti nyata seperti struktur tim litbang, bukti paten, atau desain industri yang digunakan dalam produk, perusahaan akan memperoleh nilai tambahan yang memperkuat daya saingnya.
6. Bedanya TKDN Lama & TKDN Baru dalam Bentuk Narasi Itu Apa?
Pendekatan lama menghitung nilai TKDN dengan menguraikan seluruh biaya secara rinci, mulai dari bahan hingga biaya overhead, serta mengharuskan penelusuran hingga layer ke-3. Hal ini membuat proses penghitungan menjadi lambat dan rumit.
Sebaliknya, pendekatan baru menggunakan sistem bobot komponen yang lebih sederhana dan hanya memerlukan penelusuran hingga layer pertama, sehingga prosesnya jauh lebih cepat. Dalam hal akses, pendekatan lama cenderung menyulitkan UMKM, sementara pendekatan baru justru membuka akses lebih luas bagi mereka melalui insentif BMP.
Pada sertifikasi, pendekatan lama ini masih bersifat terfragmentasi & manual. Sementara itu, pendekatan baru telah terintegrasi secara digital melalui platform SIINas.
7. Pengaruh Positif terhadap Industri Nasional
a. Peningkatan Daya Saing Industri
Perubahan penghitungan TKDN bisa membuat perusahaan lokal jadi lebih kompetitif loh. Penyederhanaan proses dan insentif melalui BMP memberi peluang bagi lebih banyak industri untuk memenuhi syarat partisipasi dalam pengadaan pemerintah.
b. Dorongan terhadap Investasi Domestik
Perusahaan yang menanamkan investasi di dalam negeri dan menjalankan proses produksi di Indonesia akan memperoleh nilai TKDN lebih tinggi. Ini menjadi insentif tersendiri bagi pelaku usaha untuk memindahkan basis produksinya ke tanah air.
c. Pemanfaatan UMKM Dalam TKDN
Dengan diakomodasinya nilai BMP untuk kemitraan UMKM, reformulasi TKDN turut mendorong ekosistem industri yang lebih inklusif. UMKM sekarang bisa jadi bagian rantai pasok & berperan dalam perolehan nilai TKDN lebih tinggi.
8. Tantangan Implementasi Reformulasi TKDN
Meskipun lebih sederhana, implementasi reformulasi ini masih menghadapi sejumlah tantangan, seperti kesiapan Lembaga Verifikasi Independen (LVI) dalam mengadopsi mekanisme baru, konsistensi pelaporan di platform SIINas, serta potensi penyalahgunaan sistem dalam bentuk TKDN washing.
Pengawasan yang ketat, digitalisasi sistem yang akurat, serta sosialisasi menyeluruh kepada pelaku industri menjadi syarat mutlak agar reformasi ini benar-benar efektif dan berdampak positif.
Untuk penghitungan TKDN ini adalah langkah penting untuk sempurnakan kebijakan pemakaian produk dalam negeri ya.
Jasa pengurusan TKDN dan BMP Klik disini
MORE DETAIL INFO PLEASE CALL US :
CALL / WA : +62811-1280-843
Email : info@konsultanindustri.com