Upaya untuk mendorong pemanfaatan produk lokal di Indonesia menempatkan aspek penilaian Bobot Manfaat Perusahaan sebagai fokus utama dalam kebijakan saat ini. Nilai BMP bukan sekadar pelengkap dalam penghitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Tetapi menjadi insentif nyata bagi perusahaan yang berkomitmen tinggi terhadap pembangunan industri nasional.
Melalui usulan reformulasi kebijakan TKDN dikemukakan oleh Kementerian Perindustrian dalam Public Hearing Rancangan Permenperin tahun 2025. Nilai BMP kini bisa dihitung berdasarkan 15 faktor penentu yang fleksibel dan disesuaikan dengan karakteristik masing-masing perusahaan.

Artikel ini akan membahas secara menyeluruh mengenai apa itu nilai BMP. Bagaimana komponen penentunya bekerja, dan mengapa pemahamannya sangat penting dalam proses sertifikasi TKDN.
Apa Itu Nilai BMP?
Bobot Manfaat Perusahaan atau BMP adalah komponen tambahan dalam perhitungan TKDN, dengan bobot maksimal sebesar 15%. Nilai ini merupakan bentuk insentif kepada perusahaan yang telah memberikan kontribusi strategis terhadap penguatan industri dalam negeri. BMP tidak hanya mencerminkan komitmen investasi, tapi juga keberpihakan terhadap tenaga kerja lokal, penggunaan mesin dalam negeri, dan aspek-aspek pembangunan berkelanjutan lainnya.
Keunggulan dari sistem ini adalah fleksibilitasnya. Perusahaan diberi kebebasan untuk memilih sendiri kombinasi faktor yang paling relevan, selama total nilai dari faktor-faktor yang dipilih tidak melebihi 15%.
15 Faktor Penentu Nilai BMP: Strategi Meraih Skor Maksimal
Berikut adalah daftar lengkap 15 faktor penentu nilai BMP, sebagaimana diusulkan dalam reformulasi Permenperin terbaru:
Penerapan Industri 4.0 (2%)
Perusahaan yang telah mendapatkan sertifikasi INDI 4.0 level 4 atau ditetapkan sebagai Lighthouse Industry 4.0 akan mendapat nilai penuh.
Pengembangan SDM Industri (1%)
Melakukan kerja sama dengan lembaga pendidikan atau pelatihan vokasi, minimal dengan 25 institusi.
Kemitraan dan Penguatan Rantai Pasok (2%)
Kemitraan dengan UMKM, koperasi, atau petani dan nelayan dalam skala besar mendapat poin maksimal.
Kepemilikan Sertifikasi atau Akreditasi (1%)
Contohnya: SNI, ISO, HACCP, sertifikat halal, dan berbagai sertifikasi industri lainnya.
Kepemilikan Merek Dalam Negeri (1%)
Merek harus terdaftar di Pangkalan Data Kekayaan Intelektual (PDKI) dan dimiliki oleh badan usaha dalam negeri.
Penerapan ESG (Environmental, Social, Governance) (2%)
Nilai ditentukan berdasarkan ESG Rating dari lembaga penilaian yang diakui.
Penerapan Industri Hijau (2%)
Perusahaan yang memiliki sertifikat atau penghargaan industri hijau dapat mengklaim nilai ini.
Penghargaan atau Awards (1%)
Di antaranya terdapat sejumlah apresiasi tingkat nasional seperti Upakarti, IGDS, IHYA, dan lainnya.
Melakukan Ekspor (1%)
Ekspor dengan nilai lebih dari Rp15 miliar mendapat nilai penuh.
Melakukan Substitusi Impor (2%)
Jika perusahaan menggantikan produk impor dengan produksi lokal senilai lebih dari Rp15 miliar.
Penyerapan Tenaga Kerja (1%)
Jumlah pekerja WNI sesuai kategori perusahaan (besar, menengah, kecil) menentukan nilainya.
Penambahan Investasi Baru (2%)
Penambahan investasi lebih dari 100% dibanding investasi awal memberikan nilai maksimal.
Penggunaan Mesin/Peralatan Produksi Dalam Negeri (2%)
Mesin utama yang dibeli dalam 1 tahun terakhir dari produsen lokal akan dihitung sebagai nilai positif.
Lokasi Perusahaan di Kawasan 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) (2%)
Lokasi usaha di wilayah 3T luar Jawa mendapat nilai lebih.
Kepatuhan Pelaporan SIINas (1%)
Pelaporan tepat waktu ke Sistem Informasi Industri Nasional selama dua tahun berturut-turut.
Mengapa BMP Penting dalam Sertifikasi TKDN?
Perusahaan yang berkontribusi dalam pengembangan industri dalam negeri memperoleh manfaat langsung melalui skema BMP. Sebagai contoh, perusahaan yang berlokasi di kawasan 3T, menyerap banyak tenaga kerja. Dan menggunakan peralatan dalam negeri bisa secara signifikan meningkatkan total nilai TKDNnya.
Selain itu, dengan adanya BMP, perusahaan tidak hanya didorong untuk memproduksi di dalam negeri. Tetapi juga berpartisipasi dalam penguatan rantai pasok, inovasi teknologi, dan keberlanjutan lingkungan.
Simulasi Perhitungan: Bagaimana BMP Memengaruhi Nilai TKDN?
Bayangkan sebuah perusahaan manufaktur yang menghasilkan produk elektronik. Dari sisi teknis, kandungan lokal dalam produk ini hanya mencapai 25%, yang menjadi ambang batas terendah. Di samping itu, perusahaan tersebut melakukan hal lain yakni:
- Memiliki sertifikat Industri 4.0 (2%)
- Memiliki 4 sertifikasi (1%)
- Beroperasi di Papua (2%)
- Melakukan substitusi impor (2%)
- Mempekerjakan lebih dari 500 orang dalam proses produksinya (setara 1%)
Dengan menambahkan nilai-nilai tersebut, total nilai BMP mencapai 8% dari 15% yang tersedia. Maka total nilai TKDN + BMP adalah 25% + 8% = 33%. Ini berpotensi membuat produk tersebut masuk dalam kategori layak untuk pengadaan barang/jasa oleh pemerintah. Sesuai regulasi yang menetapkan minimal TKDN + BMP sebesar 40% untuk PDN.
Implementasi yang Transparan dan Terukur
Semua faktor penentu nilai BMP harus dibuktikan dengan dokumen sah. Ini meliputi:
- Sertifikat resmi
- Laporan keuangan tahunan
- Nota ekspor dari bea cukai
- Bukti pelaporan SIINas
- Bukti investasi
- Bukti penggunaan mesin dalam negeri
Hal ini menjadi dasar bahwa penerapan BMP tidak sekadar formalitas, melainkan bagian dari sistem evaluasi yang objektif dan transparan.
Penyatuan unsur investasi sebagai faktor penambah skor kandungan lokal: sebuah pendekatan kebijakan terbaru yang memperkuat peran BMP
Dalam pengembangan kebijakan terkini, Kementerian Perindustrian juga mengusulkan pendekatan baru yang relevan dengan faktor penentu nilai BMP. Artinya, perusahaan mendapat insentif kandungan lokal berdasarkan modal awal serta investasi lanjutan di bidang manufaktur. Usulan ini menunjukkan bahwa selain 15 indikator BMP yang telah disebutkan. Pemerintah juga membuka ruang agar perusahaan yang aktif menambah nilai investasinya di Indonesia bisa memperoleh tambahan nilai TKDN secara proporsional.
Sebagai contoh, jika perusahaan melakukan investasi awal di Indonesia dan dalam waktu tiga tahun menambah investasi sebesar 20% dari nilai awal. Maka mereka berhak atas tambahan nilai TKDN hingga 5%. Tambahan ini dapat terus meningkat hingga maksimal 25% jika total penambahan investasi mencapai 100% dari nilai awal.
Skema ini mendorong pelaku industri untuk tidak hanya hadir secara fisik di Indonesia, tetapi juga memperluas aktivitas dan kapasitas produksinya dari waktu ke waktu. Pendekatan berbasis investasi ini memperkuat peran BMP sebagai alat ukur komitmen industri terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini juga memperluas cakupan insentif yang tidak hanya berdasarkan dokumen administratif, tetapi juga berdasarkan dampak nyata dari kehadiran industri di dalam negeri.
BMP Adalah Cermin Komitmen Perusahaan terhadap Indonesia
Faktor penentu nilai BMP mencerminkan upaya nyata industri dalam memperkuat struktur ekonomi nasional. BMP bukan hanya penggugur kewajiban administratif, tetapi indikator komitmen terhadap inovasi, investasi, dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Dengan diberikannya kebebasan memilih kombinasi faktor, setiap perusahaan dapat merancang strategi yang sesuai dengan kekuatan dan keunggulan masing-masing.
Apakah itu melalui ekspor, substitusi impor, kemitraan dengan UMKM, atau teknologi industri 4.0 semuanya dapat berkontribusi pada nilai akhir TKDN yang lebih tinggi. Dan membuka akses lebih luas ke pasar pengadaan pemerintah. Jadi, bagi pelaku industri yang ingin serius memanfaatkan peluang dari kebijakan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN).
Memahami dan memaksimalkan faktor penentu nilai BMP adalah langkah strategis yang tidak bisa diabaikan.
*berdasarkan sosialisasi pada hari selasa tanggal 17 bulan juni tahun 2024
MORE DETAIL INFO PLEASEĀ CALL US :
CALL / WA : +62811-1280-843
Email : info@konsultanindustri.com