Penguatan industri nasional menjadi prioritas strategis pemerintah Indonesia dalam menghadapi tantangan globalisasi dan ketergantungan impor. Salah satu langkah konkret yang diambil adalah memperluas penggunaan produk dalam negeri melalui kebijakan penghitungan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri). Nilai TKDN sangat krusial karena menjadi dasar dalam menentukan apakah suatu produk layak digunakan dalam proyek-proyek pemerintah atau mendapat insentif tertentu.
Namun dalam praktiknya, penghitungan TKDN yang berlaku selama ini banyak dikritik sebagai terlalu rumit, tidak efisien, dan menyulitkan pelaku usaha. Melalui reformasi regulasi yang sedang digodok oleh Kementerian Perindustrian, pemerintah melakukan pembaruan menyeluruh terhadap metode penghitungan TKDN. Tujuannya jelas: menyederhanakan proses, meningkatkan efisiensi, dan memberikan insentif nyata bagi industri yang berkomitmen berproduksi di dalam negeri.

Masalah Utama dalam Sistem TKDN Lama dan Jalan Keluar Melalui Reformasi Kebijakan
- Proses Penghitungan TKDN Rumit dan Lama
Sebelumnya, penghitungan TKDN didasarkan pada pendekatan biaya (cost-based). Perusahaan harus menghitung secara rinci berapa persen komponen biaya bahan baku, tenaga kerja langsung, dan biaya tidak langsung (overhead) yang berasal dari dalam negeri. Untuk itu, kapasitas produksi bahkan harus dihitung sebagai dasar untuk menentukan biaya per unit.
Reformasi menghapus pendekatan yang terlalu teknis ini. Kini, penghitungan bisa dilakukan lebih sederhana, tanpa harus menelusuri seluruh struktur biaya secara penuh. Komponen biaya hanya dihitung pada aspek tertentu, sementara sisanya menggunakan pembobotan.
- Harus Menghitung Sampai Layer ke-3
Salah satu kritik terbesar dari pelaku industri adalah kewajiban menghitung sampai ke layer ke-3 dalam rantai pasok. Artinya perusahaan harus menelusuri komponen dari komponen, bahkan hingga bahan mentah. Dalam sistem baru, penghitungan TKDN hanya perlu dilakukan hingga layer pertama.
Artinya, jika sebuah perusahaan membeli komponen dari mitra lokal yang sudah memiliki sertifikat TKDN. Maka nilainya bisa langsung digunakan tanpa perlu menghitung ulang proses produksinya. Langkah ini mempercepat proses, memangkas beban administratif, dan sangat membantu UMKM yang biasanya tidak punya sumber daya teknis untuk audit mendalam.
- Sertifikasi Belum Disesuaikan dengan Struktur Organisasi Baru
Struktur organisasi Kementerian Perindustrian sudah mengalami pembaruan, termasuk pembentukan Pusat P3DN. Namun, sistem lama belum menyesuaikan mekanisme penerbitan sertifikat TKDN dengan struktur tersebut. Kini, mekanisme tersebut diperbarui agar sesuai dengan organisasi terbaru dan mendukung proses yang lebih transparan.
Bahkan hal ini juga menjadi perhatian penting dari BPK dan KPK agar proses penghitungan TKDN dapat diawasi secara lebih akuntabel.
- Upaya Efisiensi Malah Menurunkan Nilai TKDN
Dalam sistem lama, perusahaan yang melakukan efisiensi dan produktivitas malah mendapat nilai TKDN lebih rendah karena biaya produksi mereka turun. Ini tentu tidak memberi insentif bagi perusahaan yang inovatif dan efisien. Kebijakan ini tidak hanya memperhatikan nilai kandungan lokal, melainkan juga memberi insentif terhadap performa dan kontribusi strategis perusahaan.
Perusahaan yang memiliki sertifikasi seperti INDI 4.0, misalnya, akan mendapat poin lebih tinggi dalam penilaian TKDN.
- Kompleksitas Pajak Masukan Menghambat
Bagi perusahaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Kawasan Berikat, dan Pelabuhan Bebas, perhitungan pajak masukan dan keluaran menjadi masalah dalam penghitungan TKDN. Dengan menghilangkan pendekatan biaya secara menyeluruh, kini pajak tidak lagi dihitung dalam penentuan TKDN. Ini membuat proses lebih netral, adil, dan tidak menghambat pelaku industri yang berlokasi di kawasan berikat atau yang mendapat fasilitas fiskal tertentu.
- Beragam Metode, Nilai TKDN Tidak Konsisten
Sebelumnya, banyak sektor industri menggunakan metode perhitungan TKDN yang berbeda-beda, ada yang berbasis proses, berbasis biaya, atau berbasis output produk. Hal ini menimbulkan ketidakadilan karena nilai TKDN dari produk serupa bisa sangat berbeda hanya karena metodenya tidak sama. Reformasi memperkenalkan satu tata cara penghitungan yang fleksibel dan dapat digunakan lintas sektor.
Pemerintah juga memberi 3 opsi:
- Penghitungan berbasis bobot komponen,
- Berbasis laporan keuangan,
- Berbasis nilai investasi.
Dengan pendekatan ini, nilai TKDN antarproduk bisa dibandingkan secara adil dan konsisten.
Dampak Positif Reformasi Penghitungan TKDN
Untuk UMKM dan Industri Kecil
UMKM selama ini paling terdampak oleh proses sertifikasi TKDN yang rumit. Mereka tidak punya sumber daya untuk audit biaya berlapis atau menghitung hingga layer ke-3. Kini, dengan sistem baru yang lebih ringkas, UMKM bisa lebih mudah masuk ke pasar pengadaan pemerintah.
Untuk BUMN dan Proyek Nasional
BUMN yang mengerjakan proyek strategis nasional wajib menyerap produk lokal. Dengan nilai TKDN yang lebih adil dan transparan, proses pemilihan vendor bisa lebih objektif dan menghindari celah manipulasi dokumen.
Mendorong Investasi dalam Negeri
Pengusaha yang berinvestasi dalam negeri, membangun pabrik, dan merekrut tenaga kerja lokal akan memperoleh nilai TKDN yang lebih tinggi. Ini memberi insentif yang tepat untuk menarik investasi, sekaligus membuka lapangan kerja nasional.
Contoh Aplikasi: Industri Elektronik
Sebuah perusahaan lokal memproduksi AC dengan dukungan komponen elektronik buatan dalam negeri. Di sistem lama, perusahaan harus menghitung ulang nilai dari setiap komponen termasuk kapasitor, kompresor, dan lain-lain hingga lapisan ketiga. Dengan pendekatan baru, cukup menggunakan sertifikat TKDN dari pemasok utama.
Perusahaan juga akan mendapat tambahan skor jika menggunakan pabrik lokal dan mempekerjakan tenaga kerja WNI.
Struktur Perhitungan TKDN: Memahami Komponen Pembobotan
Dalam sistem reformasi, penghitungan TKDN dilakukan dengan cara memberikan bobot pada tiga komponen utama:
1. Bahan atau Material Langsung (75%)
Ini adalah komponen terbesar karena merepresentasikan asal bahan baku. Bila bahan diperoleh dan diproduksi di dalam negeri, nilainya dapat mencapai 100%. Jika sebagian diproduksi di luar negeri atau impor, nilai TKDN-nya menurun sesuai kategori.
2. Tenaga Kerja Langsung (10%)
Tenaga kerja dihitung berdasarkan proporsi tenaga kerja Warga Negara Indonesia (WNI) dalam proses produksi. Jika seluruh tenaga kerja langsung adalah WNI, maka nilai TKDN untuk komponen ini otomatis 10%
3.Biaya Produksi Tidak Langsung 15%)
Merupakan bagian dari biaya produksi yang bersifat tidak langsung, meliputi pengeluaran seperti penggunaan listrik, air, perawatan peralatan, dan kebutuhan pendukung lainnya. Namun, dalam reformasi ini, pendekatan dihitung berdasarkan bukti bahwa perusahaan benar-benar melakukan investasi dan produksi di dalam negeri.
Dengan pendekatan berbasis bobot ini, nilai TKDN menjadi lebih adil, realistis, dan dapat dibandingkan antar industri secara setara.
TKDN sebagai Instrumen Kedaulatan Ekonomi
Dalam konteks global yang semakin kompetitif dan penuh tantangan, kemampuan Indonesia untuk berdiri di atas kekuatan industrinya sendiri menjadi sangat penting. Penghitungan TKDN yang baik dan adil adalah salah satu kunci untuk membuka peluang itu. Dengan menyederhanakan metode, memberikan insentif nyata bagi perusahaan yang berinvestasi dalam negeri,.
Serta menjadikan nilai TKDN sebagai bagian dari strategi pembangunan industri, Indonesia berada di jalur yang tepat untuk memperkuat kemandirian ekonomi. Bagi pelaku industri, memahami dan memanfaatkan TKDN bukan lagi pilihan, tapi kebutuhan. Kini, saatnya bergerak menuju sistem yang lebih efisien, produktif, dan berpihak pada kekuatan lokal.
*berdasarkan sosialisasi pada hari selasa tanggal 17 bulan juni tahun 2024
MORE DETAIL INFO PLEASEĀ CALL US :
CALL / WA : +62811-1280-843
Email : info@konsultanindustri.com